Sabtu, 13 Februari 2010

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL DI KOTA – KOTA BESAR

TUGAS INDIVIDU
PAPER

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL
DI KOTA – KOTA BESAR
Dosen Pengampu : Drs. Agus Salim, M. Si
Mata Kuliah : Teori Sosiologi










Disusun Oleh :
Nama : Ahlurridwan S
NIM : 3501405074
Prodi : Pend. Sosiologi Antropologi
Semester : III A


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2006

I. JUDUL
“ KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL DI KOTA – KOTA BESAR “
II. LATAR BELAKANG
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur – unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan – keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga terjadi kepincangan ikatan sosial ( Gillin dan Gillin : 740 ). Dalam keadaan normal terdapat integrasi serta keadaan yang sesuai pada hubungan – hubungan antara unsur – unsur kebudayaan atau masyarakat.
Masalah sosial timbul dari kekurangan – kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor – faktor ekonomis, biologis, biopsokologis dan kebudayaan. Problema- problema yang berasal dari faktor ekonomis antara lain adalah kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya.
Salah satu masalah sosial yang banyak dan seringkali terjadi di Indonesia adalah kemiskinan. Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggunp memelihara dirinya sendiri sendiri sesuai taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan masih terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain :
a. Kebodohan
b. Kurangnya tingkat kreativitas individu
c. Tingkat kelahiran yang cukup tinggi
d. Pengaruh lingkungan hidup atau tempat tinggal
e. Keturunan
Sudah banyak langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan. Namun, sampai saat ini belum membuahkan hasil yang optimal atau yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah sendiri.
Kemiskinan sendiri tidak akan tuntas jika individu tersebut tidak bertekad untuk mengubah keadaan hidup sesuai dengan taraf kehidupan kelompok sosialnya dan mau menggunakan tenaga, mental, fisik dan semua aspek yang ada. Sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya dan mampu memenuhi segala kebutuhan dirinya maupun anggota keluarganya.
III. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagimana kemiskinan itu terjadi ?
2. Apakah dampak – dampak yang terjadi ?
3. Bagaimana caranya untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut?
IV. PEMBAHASAN
Kemiskinan merupakan salah satu masalah soaial yang tak kunjung tuntas. Walaupun berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut sudah dilakukan, namun sampai saat inipun belum selesai juga. Kemiskinan dapat berarti sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau individu tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan tidak dapat memelihara diri sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidakmampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial. Pada waktu ditetapkannya taraf hidup sebagai suatu kebiasaan, maka kemiskinan timbul menjadi suatu masalah sosial. Pada saat individu tersebut sadar akan kedudukan ekonominya, maka mereka mampu untuk mengatakan dirinya kaya atau miskin.Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan keadaan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas.
Pada masyarakat yang bersahaja susunan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan suatu masalah sosial. Karenamereka mengangap semua itu telah ditakdirkan, sehinga tidak ada suatu usaha untuk mengatasinya.
Berbeda dengan masyarakat modern. Mereka menganggap kemiskinan adalah suatu masalah sosial. Seseorang merasa miskin karena mereka menganggap harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf hidupnya yang ada. Hal ini dapat terlihat jelas di kota – kota besar. Seperti di Jakarta, seseorang dianggap miskin karena tidak memiliki radio, televisi, kendaraan, dll. Sehingga barang – barang tersebut dijadikan sebagai ukuran keadaan ekonomi seseorang.
Kemiskinan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Kebodohan
Tingkat kebodohan seseorang dapat memicu terjadinya kemiskinan. Hal ini karena individu tersebut tidak memiliki pengetahuan atau pendidikan, keterampilan yang memadai yang dapat digunakan untuk mencari penghasilan dan dapat menaikkan taraf hidup individu tersebut serta mampu memenuhi kebutuhannya.
b. Kurangnya kreativitas individu
Jika seseorang dapat menggunakan kekretivitasnya, tidak dipungkiri mereka dapat memiliki penghasilan yang dapat menaikkan taraf hidup mereka. Mereka dapat menggunakan sarana prasarana dan segala aspek – aspek yang ada untuk mencari dan mendapatkan sumber penghasilan.
c. Tingkat kelahiran yang tinggi
Tingkat kelahiran yang tinggi ini juga dapat memicu terjadinya kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya pengeluaran biaya yang lebih besar, sehingga dapat dimungkinkan harta kekayaannya lama – lama terkuras. Namun hal ini berbeda untuk kelompok sosial yang memiliki penghasilan yang cukup bahkan lebih serta menetap. Mereka menganggap masih mampu menghidupi anggota kelompoknya. Maka mereka tidak dianggap sebagai kelompok sosial miskin. Hal ini tampak sebagian besar di kota – kota besar.
d. Pengaruh lingkungan hidup atau tempat tinggalnya
Lingkungan hidup dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan. Seseorang yang berada di lingkungan miskin pasti akan ikut terbawa arus kemiskinan. Apalagi individu – individu dalam kelompok tersebut adalah individu – individu yang tidak mampu mengurusi dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya serta berada dalam gelombang kebodohan.
e. Keturunan
Tingkat ekonomi dari kelompok sosialnya dapat mempengaruhi dengan jelas. Individu yang berasal dari golongan miskin, tidak menutup kemungkinan akan memyebabkan ia ikut miskin. Karena orang tuanya tidak mampu mencukupi segala kebutuhannya, sehingga mereka menganggap kehidupannyaadalah takdir yang tekah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Sehingga kurang adanya kemauan untuk mengubah keadaannya.
Hal – hal lain yang tampak nyata menyebabkan kemiskinan banyak terjadi di kota – kota besar yaitu antara lain arus urbanisasi. Banyak para urban dari desa datang ke kota, kebanyakan dari mereka bertujuan mencari pekerjaan. Namun banyak juga dari mereka gagal mendapatkan pekerjaan, karena mereka tidak memiliki keahlian atau keterampilan tertentu untuk bekerja di kota.Dan juga mereka tidak mempunyai sanak famili yang tinggal di kota. Sehingga hidupnya terkatung – katung tidak menentu, dan merekapun hidup di tempat yang tidak layak dihuni. Dan menyebabkan tingkat kemiskinan di kota meningkat, karena mereka tidak memiliki penghasilan dan tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya.
Dari masalah kemiskinan yang terjadi tersebut, maka dampak atau akibat yang dapat terjadi yaitu meningkatnya tingkat kriminalitas. Kriminalitas disini yang sering terjadi antara lain adalah pencurian, pencopetan, perampokan, dll. Mereka melakukan hal itu atas dasar pemenuhan kebutuhan, karena mereka tidak mempunyai penghasilan untuk mencukupi kebutuhannya. Seseorang cenderung melakukan apa saja jika terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik itu dengan cara halal maupun tidak. Sehingga tingkat kriminalitas di kota – kota besar meningkat.
Pemerintah pun sudah berusaha mengentaskan kemiskinan yang tidak hanya terjadi di desa tersebut, namun juga terjadi di berbagai daerah lain. Namun masalah ini tak kunjung usai, masih saja melanda sebagian besar masyarakat. Entah karena faktor masyarakat atau individunya ataupun pemerintahnya. Namun sejauh penulis ketahui, kedua faktor tersebut saling mempengaruhi. Masyarakat yang etos kerjanya dan kemauannya untuk lebih maju rendah bahkan tidak ada. Kebanyakan masyarakat mempunyai sifat pemalas dan hanya mau terimajadi saja tanpa mau berusaha. Untuk mengatasi masalah ini, seharusnya pemerintah dan masyarakat saling bekerja sama. Pemerintah jangan hanya memberi bantuan berupa uang tunai atau bahan makanan saja. Namun juga memberi pengarahan dan pembekalan atau ketrampilan tertentu untuk masyarakat miskin, agar dapat memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk bekerja tanpa dipungut biaya. Sehingga mampu bekerja dan menghidupi keluarga tanpa menggantungkan hidupnya pada pemerintah. Untuk masyarakat sendiri diharapkan mampu melaksanakan program tersebut dengan sungguh – sungguh dan meningkatkan etos kerja. Sehingga tujuan utama dari program pengentasan kemiskinan yang sudah lama melanda sebagian masyarakat dapat teratasi.. Dan masalah kemiskinan akan dapat berkurang bahkan hilang sama sekali.


DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.

Sebuah Kesimpulan
Kemiskinan
Masalah sosial yang umum terjadi di masyarakat saat ini adalah kemiskinan. Penyebab utama masalah ini antara lain adalah akibat kurangnya pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki oleh warga. Sehingga mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Saat ini hampir sekitar 25 % warga desa tersebut masih berada di garis kemiskinan. Dan juga penyebab utamanya seperti yang telah disebutkan di atas. Warga desa tersebut kebanyakan hanya lulusan SD atau SMP dan tidak memiliki pendidikan dan ketrampilan yang layak untuk bekerja. Untuk menghidupi keluarga, mereka bekerja serabutan alias seadanya. Seperti mencari kayu untuk dijual, sebagian diantaranya bekerja sebagai kuli bangunan yang hasilnya tidak seberapa dan kadang kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah pun masih kurang untuk menutupi kebutuhan hidup mereka seperti makanan, pakaian, pendidikan bagi anak – anaknya, dan lain – lain. Dikarenakan hal kemiskinan tersebut, anak – anak mereka mayoritas hanya sampai SD ataupun SMP saja. Karena tidak ada dana untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Permasalahan permasalahan yang timbul akibat kemiskinan ini pun beragam. Seperti tindak kriminalitas warga yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang salah, misal dengan mencuri, memalak, bahkan pesugihan.
Pemerintah pun sudah berusaha mengentaskan kemiskinan yang tidak hanya terjadi di desa tersebut, namun juga terjadi di berbagai daerah lain. Namun masalah ini tak kunjung usai, masih saja melanda sebagian masyarakat. Entah karena faktor masyarakat atau individunya ataupun pemerintahnya. Namun sejauh penulis ketahui, kedua faktor tersebut saling mempengaruhi. Masyarakat yang etos kerjanya dan kemauannya untuk lebih maju rendah bahkan tidak ada. Kebanyakan masyarakat mempunyai sifat pemalas dan hanyamau terimajadi saja tanpa mau berusaha.Untuk mengatasi masalah ini, seharusnya pemerintah dan masyarakat saling bekerja sama. Pemerintah jangan hanya memberi bantuan berupa uang tunai atau bahan makanan saja. Namun juga memberi pengarahan dan pembekalan atau ketrampilan tertentu untuk masyarakat miskin, agar dapat memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk bekerja tanpa dipungut biaya. Sehingga mampu bekerja dan menghidupi keluarga tanpa menggantungkan hidupnya pada pemerintah. Untuk masyarakat sendiri diharapkan mampu melaksanakan program tersebut dengan sungguh – sungguh dan meningkatkan etos kerja. Sehingga tujuan utama dari program pengentasan kemiskinan yang sudah lama melanda sebagian masyarakat dapat teratasi.

FENOMENA KERIS TERHADAP PARADIGMA SENI DAN BUDAYA JAWA DALAM SISTEM KEBUDAYAAN

TUGAS INDIVIDU

FENOMENA KERIS
TERHADAP PARADIGMA SENI DAN BUDAYA JAWA
DALAM SISTEM KEBUDAYAAN

Mata Kuliah : Bentang Sosial Budaya Masyarakat Jawa
Dosen Pengampu : Drs. Juhadi, M. Si






Oleh :
Nama : Ahlurridwan S
NIM : 3501405074
Prodi : Pend. Sosiologi Antropologi
Semester : 6
Rombel : I



FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2008

ABSTRAK

Masyarakat Jawa, mempunyai berbagai kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada 7. Masyarakat Jawa memiliki salah satu bentuk kebudayaan, berupa alat atau senjata. Yaitu keris.
Memahami kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kemudian akan menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Tulisan ini akan membahas permasalahan kebudayaan berkaitan dengan keris yang hadir sebagai paradigma seni dan budaya dalam sistem kebudayaan


PENDAHULUAN

Memahami dinamika kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kata culture yang berarti “mengolah”, “mengejakan” terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian arti tersebut berkembang menjadi segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam1. Di Indonesia kata culture diartikan menjadi kata “kebudayaan” yang berasal dari kata sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti ‘budi’ atau akal. Kata lain untuk kata ‘budi’ adalah jiwa yang di dalamnya terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Dengan demikian budi, akal, jiwa, roh adalah dasar dari segala kehidupan budaya manusia, kata ‘budaya’ dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan yang artinya sama dengan cipta, rasa, karsa dengan hasilnya. Berkaitan dengan kebudayaan dijelaskan bahwa kebudayaan merupakan seluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat.
Keris sebagai artefak budaya merupakan hasil dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat. Hasil kebudayaan berkaitan dengan sistem simbol, yaitu merupakan acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik3. Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya (dalam hal ini adalah masyarakat Jawa).


PEMBAHAHASAN

1. Keris sebagai Ekspresi Kebudayaan
Keris sebagai hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya. Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik). Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Berkaitan nilai dan simbol Ida Bagus Gede Yudha Triguna (1997:65), memberi penjelasan tentang nilai dan simbol secara estimologi. Secara estimologis kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo (sumballien) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, menyatukan. Simbol merupakan pernyataan dua hal yang disatukan dan berdasarkan dimensinya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap berharga, sedangkan simbol selain memiliki fungsi tertentu juga dapat dimanfaatkan sebagai identitas komunitasnya. Suatu simbol menerangkan fungsi ganda yaitu transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku), dan imanen horisontal (Sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya)
Meskipun pengertian kebudayaan sangat bervariasi, ada suatu upaya merumuskan kembali konsep kebudayaan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dan karakteristik dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.
Karakteristik tersebut oleh Simuh dinyatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang. Segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih kongkret, dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara ganda. Makna unsur hias memiliki sifat generalistik, mengingat nilai-nilai budaya seperti wayang memiliki akar yang sama antara gagrag satu dengan lainnya (dari masa ke masa), yakni nilai-nilai budaya Jawa yang adiluhung yang dilestarikan dalam tradisi wayang. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa tradisi dalam suatu masyarakat bisa berubah tetapi nilai-nilai budaya yang dianggap adiluhung tetap dilestarikan (Tjetjep Rohendi 1993:2).
Keris merupakan bagian dari sistem dalam kebudayaan, Koentjaraningrat menyatakan: bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat7. Wujud dan Isi kebudayaan, menurut ahli antropologi sedikitnya ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2) activities dan (3) artifacts. Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai sistem-sistem yang erat kaitannya satu sama lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam sistem sosial menghasilkan kebudayaan materialnya (artifact). Sebaliknya sistem yang berada di bawah dan yang bersifat kongkrit memberi energi kepada yang di atas (lihat: Ayat Rohaedi 1986:83). Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kebudayaan Jawa merupakan interaksi timbal-balik di antara sistem-sistem dalam wujud kebudayaan tersebut, yaitu hubungan antara idea, aktivitas dan artifact, dari karya yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa (termasuk keris).
“Keris” sebagai peninggalan kebudayaan yang terdapat diberbagai wilayah dan berkembang sesuai dengan falsafah dan pandangan masyarakatnya. Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, dan berperilaku juga berorientasi terhadap budaya sumber. “Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada konsep budaya induk, yaitu “sangkan paraning dumadi” (Geertz 1981: X-XII). Kelahiran dan atau keberadaan karena adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Geertz mengkaitkannya persoalan tersebut dengan beberapa pemakaian istilah dalam Agama Jawa yang berintikan pada prinsip utama yang dinamakan “sangkan paraning dumadi”. Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah nunggak semi.
Keris sebagai artefak budaya merupakan ekspresi kebudayaan, dinyatakan oleh RM. Susanto; hasil kebudayaan yang direpresentasikan sebagai artefak dalam bentuk pusaka budaya ataupun guratan dalam bentuk gambar-gambar pada relief atau kain secara simbolis. Dimensi pelukisan pohon dalam kehidupan manusia banyak memegang peranan penting, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama. Suatu proses perubahan dari sebuah perilaku budaya, maka pada fase tertentu masih mengacu pada budaya sumber atau induknya (1987:296).
Apabila konsep tersebut dikaitkan dengan keris sebagai ekspresi budaya Jawa, maka bentuk tersebut merupakan hasil proses perubahan (pelestarian dan perkembangan) budaya, yang secara tradisi mengacu pada budaya induk. Orang Jawa sangat menghormati masalah tersebut, sehingga segala perilaku kehidupan selalu dikaitkan dengan budaya induknya (dalam hal ini adalah warisan budaya). Itulah mengapa keris selalu mengacu kepada budaya induk (budaya sumber), sehingga pada gilirannya keris mempunyai pola dan gaya kedaerahan, atau gaya dalam periode tertentu. Keris dalam masa tertentu dibandingkan dengan masa tertentu mempunyai pola yang khas masing-masing; keris gaya Majapahit, Pajang, Mataram dan sebagainya dan sebagainya.
2. Fenomena Keris sebagai Artefak Budaya
Fenomena keris, keris sebagai artefak budaya, keris sebagai ekspresi budaya tidak akan terlepaskan dengan sistem budaya masyarakatnya. Keris sebagai artefak dan sebagai ekspresi budaya tidak akan lepas dari pandangan masyarakat pendukungnya. Pandangan mayarakat Jawa tidak dapat dipisahkan terhadap perkembangan dan sistem budayanya. Pendapat Niels Mulder (1984) berkaitan dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat, memberi pernyataan bahwa kebudayaan berkembang bersifat berkelanjutan dan ajeg (continue) dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah alon-alon waton kelakon11. Sistem Perubahan tersebut sesuai pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, Niels Mulder menyatakan: Pandangan yang menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, dibarengi dengan sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (hubungan kosmos). Barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakatnya, maka hidup selaras juga dengan Tuhannya dan mampu menjalankan hidup yang benar (Niels Mulder 1984:13). Pendapat tersebut memberi gambaran tentang pandangan masyarakat; yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan Tuhannya. Selanjutnya Niel Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tak tertulis. Kehidupan di dunia, kehidupan dalam masyarakat, sudah dipetakan dan tertulis dalam macam-macam peraturan, seperti kaidah-kaidah adat etika Jawa (tata krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, kaidah-kaidah adat, yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan dan kaidah-kaidah moril yang menekankan sikap narima (menerima sesuai dengan aturan yang berlaku), sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja) dan yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi (Niels Mulder 1984:13). Pendapat Mulder memberikan konotasi tentang pandangan hidup masyarakat untuk mengatur dirinya dalam satu ikatan nilai kultural, antara dirinya dengan masyarakat (antar manusia), keselarasan hubungan dengan masyarakat (termasuk alam sekitar), mengatur untuk beribadah dan taat dengan Tuhannya (sikap manembah). Keselarasan hubungan tersebut dalam falsafah jawa disebut sebagai hubungan hubungan vertikal-horisontal antara jagad besar dan jagad kecil. Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil-(mikrokosmos). Makrokosmos adalah jagad besar yang mencakup semua lingkungan tempat seseorang hidup, sedangkan mikrokosmos (jagad cilik) adalah diri dan batin manusia itu sendiri. Secara vertikal mengatur hubungan antara batin kita (mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara horisontal mengatur hubungan antara batin kita (mikokosmos) dan lingkungan alam semesta (makrokosmos).
Pandangan orang Jawa dalam melihat dunia secara kosmologi tentang dunia bagian bawah dan dunia bagian atas, sering dipadukan dengan dunia bagian tengah yang juga disebut dengan dualisme dwitunggal atau dualisme monostis (lihat: H.Schoerer dalam Rahmad Subagyo 1981:118). Istilah tersebut cocok dengan istilah Jawa, seperti loro-loroning atunggal, rwa binneka, kiwo tengen, Bhinneka Tunggal Ika (Rahmad Subagyo 1981:118). Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan sinkretisme.
I Kuntara Wiryamartana menyebut pandangan tata alam atau dunia (kosmologi) Jawa tersebut sebagai mikro - makro - metakosmos. Mikrokosmos adalah manusia, makrokosmos adalah alam semesta, sedangkan metakosmos terdiri atas alam niskala yang tak nampak (tak terindera), alam sakala-niskala yang wadag dan tan wadag (terindera dan tak terindera) dan alam sakala, yakni alam wadag di dunia ini (I Kuntara Wiryamartana, dalam Jakob Sumardjo, tt: 176).
Berkaitan dengan konsep metakosmos tentang tiga jagat dengan konsep mandala, Yakob sumardjo menjelaskan: Mandala adalah lingkaran yang melambangkan kesempurnaan, tanpa cacat, keutuhan, kelengkapan, dan kegenapan semesta yang sifatnya essensi, saripati, maha energi yang tak tampak, tak terindra namun Ada dan Hadir. Kehadiran ditampung dalam ruang empat persegi dari lingkaran atau essensi dalam eksistensi. Lingkaran mandala adalah kosmos, keteraturan dan ketertiban semesta, harmoni sempurna yang hadir dalam ruang empat persegi yang semula chaos. Yang sempurna hadir dalam dunia cacat, yang terang hadir dalam dunuia gelap, yang supreme hadir dalam dunia relative, yang tertib hadir dalam dunia chaos, yang lelaki hadir dalam dunia keperempuanan, yang tak tampak hadir dalam dunia tampak. Mandala adalah suatu totalitas unsur-unsur dualitas keberadaan. Dunia Atas menyatu dengan dunia Bawah melalui dunia Tengah mandala (Jakob Sumardjo 2003:87)
Hubungan mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos berkaitan dengan konsep tribuana dan triloka Abdullah Ciptoprawiro dalam Arjunawiwaha (abad XI) oleh empu Kanwa di Jaman raja Erlangga, merupakan bentuk Kakawin, cerita bersyair berwujud lakon untuk pementasan wayang. Renungan filsafat secara metafisik yaitu, (a) renungan tentang Ada (Being) diwujudkan dalam pribadi (personified). Dewa Siwa yang digambarkan sebagai “sarining paramatatwa” (inti dari kebenaran tertinggi= niskala), ada-tiada (terindra dan tak terindera= sakala-niskalatmaka) yaitu asal dan tujuan (the where from and where to, origin and destiny) alam semesta (sakala) (2000:34-35).
Ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmmos, sesui sistem berpikir budaya mistis Indonesia. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya ini. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos, dalam konsep yang kemudian disebut ajaran Tribuana/Triloka, yakni : (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), (2) alam sakala niskala (alam yang wadag dan tak wadag, yang terindera tetapi juga tak terindera, dan (3) alam sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos tadi lewat sakala niskala yakni: lewat kekuasaan perantara yakni shaman atau pawang, dan lewat kesenian.
Pandangan masyarakat terhadap hubungan mikrokosmos dan makrokosmos, Jose and Miriam Arguelles mengkaitkan dengan bentuk ritual pada konsep Mandala (mandala conceps) yaitu konsep hubungan interaksi yang kemudian membentuk satu kesatuan dan keseimbangan kosmos“Centering” (1972:85).
Fenomena “Keris” sebagai fenomena budaya yang tak lepas dari ikatan sistem kebudayaan, maka keris tegak ditengah masyarakatnya dan diyakini sebagai fenomena yang dibentuk masyarakatnya lewat ruang dan waktu.
Pandangan sebagian masyarakat (Jawa) terhadap keris akan selalu berkaitkan dengan soal gaib dan berhubungan erat dengan keyakinan (kepercayaan) mereka. Namun kemampuan untuk menafsirkan “kegaiban” pada setiap keris sangat beragam. Berdasarkan cerita mithos; keris berasal dari pemberian Dewa tanpa diketahui pembuatnya; misalnya keris Pasupati dalam pewayangan diberikan oleh dewa kepada Harjuna karena membunuh raksasa Newatakawaca yang menyerang khayangan (lihat kitab Arjunavivaha)
Ada keris yang terjadi dari taring Batara Kala dan bernama Keris Kaladete, keris yang kemudian dimiliki oleh Adipati Karna
Cerita semacam itu banyak diambil dari situs Mahabarata. Keris dalam cerita Arjunavivaha tersebut digambarkan sebagai hadiah Dewa kerena mampu mengalahkan raksasa Newatakawaca dan membawa ketenangan khayangan Demikian juga dengan keris Kaladete diberikan oleh Batara Kala, karena ingin membalas dendam terhadap Gatutkaca.
Pada cerita sejarah, ada keris yang berhubungan dengan berdirinya suatu kerajaan, misalnya “Keris Empu Gandring” yang dipesan oleh Ken Arok akhirnya untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dar Tumapel; setelah berhasil Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari. Cerita ini terdapat dalam Kitab Pararaton.
Diceritakan juga pada jaman Mataram, Ki Ageng Wanabaya (Ki Ageng Mangir) mendapat keris kyai baru. Kyai Baru adalah penjelmaan seekor naga yang sedang bertapa dan membelit Gunung Merapi, sebagai syarat untuk mendapatkan separo kerajaan Pajang. Cerita ini berhubungan dengan terjadinya Rawapening Ambarawa. Dan cerita ini sangat populer dalam masyarakat dan bersifat cerita rakyat
Fenomena keris di atas dalam cerita mithos, cerita sejarah dan cerita rakyat dan bahkan mungkin cerita-cerita yang lain seolah mempunyai kekuatan diluar kemampuan manusia (kekuatan gaib). Bahkan ada cerita tentang keris yang mampu menghilang dan datang dan kembali ke asalnya (Dewa), dan atau pindah ke lain pemilik sesuai kehendaknya. Ini kemudian diyakini oleh sebagian masyarakat karena fenomena gaib atau mempunyai kekuatan diluar kekuatan manusia.
Yang menjadi pokok persoalan bukan isi cerita itu, kebenaran cerita itu, atau betulkah keris punya kekuatan gaib. Yang sangat penting adalah Fenomena keris lewat cerita di atas mempunyai kekuatan yang dasyat dan mampu membentuk emage masyarakat tentang keberadaan keris. Cerita-cerita tersebut mampu membentuk opini masyarakat untuk dan mampu mempertahankan artefak budaya (keris), sekaligus mengantarkan keris sebagai warisan budaya. Keris sebagai ekspresi budaya nusantara mampu dilestarikan keberadaannya, lewat fenomena cerita-cerita dan kemudian mampu memberikan wacana kepada masyarakat sebagai keyakinan. Keyakinan terhadap keris sebagai benda pusaka yang dikeramatkan, maka seolah ada kuajiban masyarakat untuk merawatanya. Itu merupakan bukti daya tahan kebudayaan dalam masyarakat.
Fenomena keris sebagai keyakinan masyarakat itu lahir dan berkembang di semua individu masyarakat Jawa . Keyakinan-keyakinan itu menghatarkan keris sebagai artefak yang mampu bertahan sebagai pusaka budaya. Fenomena ini yang disebut dengan metode rekayasa cultural yang mereka trapkan melalui munculnya cerita mitos, cerita sejarah dan cerita rakyat. Keris kemudian bukan lagi sekedar sebagai senjata tetapi merupakan fenomena dalam rangka membangun pilar-pilar kebudayaan Keris yang konon sebagai senjata tikam, kemudian keris digunakan para prajurit dan pengageng keraton sebagai senjata sekaligus sebagai lambang status dalam tata busana di dalam keraton. Bahkan keris juga dipakai sebagai pelengkap upacara dilingkungan Istana dan keris secara syah menjadi lambang pengagungan dan status kebangsawanan.
Perubahan pranata sosial masyarakat, mengakibatkan perubahan fungsi keris. Keris sebagai senjata tikam dan sekaligus sebagai lambang status kebangsawanan dilingkungan keraton mulai bergeser. Namun perlu dicatat bahwa pergeseran keris tersebut di atas tetap mengacu pada fenomena keraton sebagai sumber budaya pengagungan. Sehingga berbicara “keris” tidak akan lepas dari keraton sebagai pusat kebudayaan. Itulah mengapa pemakaian keris pada uapacara-upacara hajatan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap mengacu ke dalam Keraton sebagai sumber budaya pengagung.
3. Fenomena Keris sebagai Aktivita Seni Budaya
Seni sebagai bagian sistem budaya “kekuasaan”
Kesenian sebagai suatu sistem yang ikut berperan dalam membentuk sosok budaya tidak berdiri sendiri. Ia adalah suatu bagian dari suatu proses dialektika yang bergerak menuju suatu sintesa budaya. Bersama sistim-sistim lain dalam masyarakat (sistim kekuasaan, sistim ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, sistem sosial) kesenian terlibat dalam proses saling mempengaruhi, tawar-menawar, berbagai tesa dan tesa-tandingan. Pada suatu saat suatu sintesa budaya tercapai suatu sosok budaya yang (sementara) mapan, sosok kemapanan kesenian juga akan tercapai. (Umar Khayam 1996).
Hal tersebut memberikan isyarat bahwa kesenian sebagai suatu sistem budaya, merupakan bagian proses dialektika budaya, dan proses tersebut berlangsung dan tergantung dari sebuah sistem budaya “kekuasaan” (dalam tanda petik). Ketika Sistem kekuasaan monarki-absolut pada kerajaan jawa, maka ketika itu pula kesenian sebagai suatu sistem yang ditentukan oleh sistem kekuasaan yang berlangsung. Sampai pada satu sistem pemakaian dan penggunaan keris, jenis tekstil yang dipakai Raja, bangsawan, pejabat golongan tinggi, menengah dan kalangan yang lebih rendah ditentukan oleh sebuah sistem budaya kekuasaan.
Kesenian Jawa “adi luhung” tercapai sosok “adi luhung”nya sesudah mengalami proses dialektika budaya Jawa antara sistem-sistemnya yang mencapai puncaknya pada abad ke-18. Sistem kekuasaan monarki absolut dari kerajaan Mataram merupakan sistem yang kuat dalam ikut menentukan warna dan sosok budaya “adi luhung” Jawa. Bukan kebetulan apabila sosok “adi luhung” berorientasi kepada sistem nilai halus-kasar. Begitu pula dengan bahasa, musik, rupa, tari, tata-krama, komunikasi politik. Semuanya terbungkus dalam sosok budaya “adi luhung” di bawah payung sistim kekuasaan monarki-absolut Musik jazz dan blues Amerika bukan kebetulan dilahirkan di Amerika Serikat bagian selatan di daerah kulit hitam yang miskin, gelap dan kumuh. Lingkungan sistim kekuasaan dan sistem sosial yang sangat diskriminatif dari bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit hitam mengundang dialektika budaya seperti “musik hitam” tersebut.
Fenomena keris sebagai proses dialektika budaya tidak terlepas dari sistem budaya kekuasaan, lepas dari pro dan kontra, artinya sebuah sistem dapat saja muncul dalam sebuah kesenian “dalam rangka” dan sebuah sistem dapat saja muncul karena ketidakpuasan adanya budaya kekuasaan. Pelestarian tradisi atau seni progressi kontemporer yang muncul tetap saja berputar pada lobang sistem dialektika yang sedang berlangsung.
Kondisi kesenian tradisi kita, baik yang “klasik” maupun yang”rakyat”, disebut tradisi karena “tradisi” itu, telah terbingkai dalam satu pigura waktu. Adapun waktu tersebut adalah waktu yang telah menyelesaikan suatu putaran dialektika budaya. Musik dan tari Jawa terbingkai dalam sistem kekuatan monarki-absolut yang berdialektika dengan sistem-sistem lainnya di waktu itu. Sedang kesenian tradisi “rakyat” kita terbingkai dalam dialektika budaya masa lampau kita di mana sistem ekonomi pertanian tradisi dan sistem sosial.
Seni budaya tradisi yang tidak lepas dari ikatan nilai sosio-kultural (hubungan integral antara seni dan masyarakat), mulai terkoyak oleh perkembangan jaman lewat arus teknologi informasi. Kekentalan ikatan nilai kebersamaan yang membuahkan satu bentuk budaya yang memiliki dan diyakini, akhirnya sedikit demi sedikit bergeser. Ikatan nilai sosio-kultural beralih ke dalam ikatan individu-kultural. Orientasi terhadap kepentingan sosial masyarakat beralih atas kepentingan individu yang fungsional. Keris (tosan Aji) yang dulu merupakan karya tradisi yang punya ikatan sosio-kultural kini bergeser oleh kepentingan individu cultural. Keris sebagai artefak budaya, dalam perkembangan selanjutnya akan dihadapkan oleh dua kekuatan; kekuatan Konservasi dan kekuatan progresi, kekuatan dimana satu pihak untuk melestarikan satu pihak ingin maju. Pandangan Konservasi menghendaki segala kekuatan budaya selalu berorientasi kepada masa lalu, sehingga ada benang emas yang menghubungkan budaya kini dan budaya masa lalu tak terpisahkan oleh arus globalisasi. Pandangan progresif menghendaki adanya sebuah perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya.
Perkembangan seni budaya dari dunia ketiga termasuk Indonesia, dewasa ini dihadapkan dalam dua pilihan tersebut di atas. Kebudayaan nasional yang bertitik tolak dari kebhinekaan dari puncak budaya daerah, mencoba memberi alternatif kemajuan yang secara progresif mengarah perkembangan dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa aset budaya nasional mengarah pada kekuatan konservasi- progresif. Kekuatan tersebut akan membawa konsekuensi logis adanya dua alternatif pelestarian; pelestarian preservatif dan konservatif. Dampak ini juga akan dihadapi oleh komunitas keris. Keris secara preservasi di simpan dan dirawat sebagai salah satu budaya kelangenan sebagai pusaka budaya. Pelestarian konservasi merupakan pelestarian dengan mencoba mengembangkan nilai sesuai dengan pranata sosial masyarakat.
4. Fenomena Keris sebagai seni Komuditas.
Pengaruh teknologi dan informasi dalam era globalisasi ini akan mempengarui pertumbuhan dan perkembangan budaya daerah, otomatis akan mempengarui kebudayaan nasional yang mengacu pada puncak budaya daerah. Kebudayaan yang merupakan kekayaan budaya nasional mulai terancan eksitensi dan essensinya. Keris sebagai kekuatan transenden dan sebagai budaya keyakinan lokal pada masyarakat mulai tergeser pada kekuatan ontologis yang mengarah pada kekuatan untuk menguasai dan mengolah budaya lokal sebagai budaya alternatif (seni komuditas), dan keris dihadapkan pada pasar. Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan, dirumat dan diyakini sebagai pusaka. Kini keris merupakan benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya.
Dinamika budaya yang muncul pada dekade terakhir, apa bila dikaitkan dengan perkembangan kesenian nampak adanya pergeseran secara kultural. Pergeseran itu akibat munculnya menejemen global dalam era globalisasi yang merambat masuk pada belahan dunia ketiga. Permasalah seperti ini mengingatkan kita pada pergeseran budaya secara politik akibat adannya pendidikan populer di Amerika kurang lebuh sat abad yang lalu. Di Amerika serikat pada akhir abad XIX, muncul dua kebudayaan yang disebut sebagai “High culture” yang merupakan seni tradisional dan “Mass Culture” yang pada awalnya merupakan pemasaran hasil produksi pabrik pada waktu itu (Macdonald,tth). Mass culture kemudian dikembangkan dalam bentuk kesenian lewat; novel, cerpen, komik, cerita detektif dan seni yang dikemas dalam mass-media; majalah, radio, televisi dan media seni rupa yang kemudian mereka sebut dengan istilah populer art.
Alasan historis tumbuhnya kebudayaan massa tersebut, karena adanya demokrasi politik dan pendidikan populer mulai membabat dan menggeser monopoli kebudayaan tua klas atas (kebudayaa tradisi klasik) saat itu. Usaha menemukan bisnis pasar yang menguntungkan dalam kebutuhan kebudayaan, lewat kesadaran massa yang baru. Pemanfaatan kemajuan teknologie memungkinkan terjadinya hasil produksi yang murah dari buku-buku, majalah, gambar, musik dan perabotan lain, dalam jumlah yang dapat mencukupi untuk memuaskan pasaran. Teknologi modern juga menciptakan media baru seperti bioskop dan televisi yang secara khusus menyesuaikan dengan produksi massa dengan kekuatan distribusinya. Kekuatan tersebut membawa hubungan antara high culture dan mass culture tidak seperti daun dan rantingnya tetapi lebih merupakan daun dengan ulat. Secara essensial seni budaya massa yang berkembang di barat tersebut kini merembes ke seluruh dunia, terutama pada saat munculnya urbanisasi akibat perkembangan industri di kota-kota besar termasuk di Indonesia.
Seni budaya masa yang sering disebut seni populer, merupakan rekayasa budaya yang berorientasi dari perluasan kontinuitas pada seni rakyat atau seni yang berkembang dari masyarakat. Seni rakyat berkembang dari arus bawah, sedang populer art atau mass culture (budaya massa) berkembang sesuai dengan rekayasa klas atas. dikatakan demikian karena produk budaya massa dibuat oleh teknisi-teknisi yang disewa oleh para pengusaha; audiennya merupakan konsumen yang pasif, partisipasinya bukan karena adanya ikatan nilai sosio-cultural seperti pada seni rakyat tetapi partisipan dihadapkan pada alternatif membeli atau tidak.
Fenomena “Keris” sebagai budaya massa atau seni populer di Indonesia, mulai terasa dan bahkan sudah menjadi trend didalam perkembangan bisnis kesenian. Kesenian yang konon merupakan satu kebudayaan yang punya kekuatan spirutuil, nilai magis, sebagai satu hiburan dan sekaligus sebagai tuntunan hidup yang diyakini kini mulai terkoyak eksistensinya. Seni rakyat mulai direkayasa sebagai satu bentuk kesenian yang mengarah pada seni komuditas, sebagai satu alternatif pemenuhan paket-paket pariwisata dengan satu atribut “Identitas budaya daerah”.
Seni rakyat dengan berbagai ragam bentuk dan ragam budaya daerah yang merupakan kekayaan bumi nusantara diancam eksistensinya oleh rekayasa kultural yang berkembang akibat perkembangan teknologi dan informasi yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia yang menitik beratkan pada kekayaan daerah, mau tidak mau akan menoleh terhadap ragam seni rakyat di daerah sebagai alternatif garap yang mengarah pada seni komoditas, itu tak mungkin dapat dielakkan.
Kesenian sebagai identitas budaya daerah, kesenian rakyat sebagai aset budaya daerah, kesenian sebagai aset budaya pariwisata yang diharapkan akan menambah inkam perkapita diharapkan mampu menambah devisa negara akan menjadikan prospek seni yang mengarah pada seni komoditas dan mengacu pada seni budaya massa. Rekayasa arus atas akan mengancam eksestensi dan essensi seni yang sudah lama berkembang di masyarakat. Ikatan nilai sosio-cultural dari arus bawah akan digeser oleh rekayasa kultural dalam berbagai alasan. Seni dijual sebagai satu rekayasa kultural komunitasnya. Kekokohan kekentalan ikatan nilai sosio-cultural pada kesenian tradisi sebagai high culture terancam oleh kerakusan mass culture yang semakin menjanjikan segala impian.

PENUTUP

Kesimpulan

Keris sebagai hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya. Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik). Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa
“Keris” sebagai peninggalan kebudayaan yang terdapat diberbagai wilayah dan berkembang sesuai dengan falsafah dan pandangan masyarakatnya. Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, dan berperilaku juga berorientasi terhadap budaya sumber. “Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada konsep budaya induk, yaitu “sangkan paraning dumadi”. Kelahiran dan atau keberadaan karena adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Geertz mengkaitkannya persoalan tersebut dengan beberapa pemakaian istilah dalam Agama Jawa yang berintikan pada prinsip utama yang dinamakan “sangkan paraning dumadi”. Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah nunggak semi.

DAFTAR PUSTAKA

Arumbinang, Haryono., IR (1985). Pakem Padhuwungan, Yogya: Lembaga javanologi “Panunggalan”
Gustami, SP, (1989), “Konsep Gunungan dalam Seni Budaya Jawa Manifestasinya di Bidang Seni Ornamen”: Sebuah Studi Pendahuluan, Penelitian Yogyakarta : Balai Penelitian Institut Seni Indonesia, 20-22.
Harsrinuksmo, Bambang (tth), Katurangganing Dhuwung-dhuwung, Surakarta: Perpustakaan Mangkunegaran H 124 & H 125.
Hamzuri, Drs. (1982/1983), Petunjuk singkat tentang keris. Jakarta: Proyek Pengembangan Musium Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Raharjo, Sunaryo. (1977). Andalan Bab Pusoko Tosan Aji. Surakarta: Perpustakaan Mangkunegaran H.128
Kawindrosusanto, Koeswadji, (1956), “Gunungan” Majalah Sana Budaya, Th.1No.2 Maret, 81.
Simuh, (1996), Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa., Yogyakarta, yayasan Bentang Budaya, 131.
Subagyo, Rahmat, (1981), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka, 98-100, 118.
Triguna, Ida Bagus Gede Yudha, (1997), “Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Bali, Desertasi Doktor, Bandung, PPs Universitas Padjadjaran, 65.
Umar Kayam (1996), “Posisi Perguruan Tinggi Seni di Indonesia”. Seminar Nasional. Surakarta:STSI

ANALISIS ETIKA KEILMUAN

TUGAS KELOMPOK

RESUME DAN ANALISIS ETIKA KEILMUAN
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu




JURUSAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2006
PENDAHULUAN

Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang dating dengan sendirinya. Tetapi melalui pemikiran – pemikiran yang demikian yang rumit dan mendalam tentang suatu objek dengan pendekatan yang khas. Sehingga ilmu menjadi suatu sasaran sarana berpikir yang sangat mendalam.
Dalam menghadapi perkembangan zaman, ilmu juga menjadi dan mengalami perkembangan sehingga dibutuhkan etika keilmuan sebagai patokan untuk berkembangnya ilmu kearah yang lebih maju.
Dengan demikian perlu diadakan sedikit penjelasan – penjelasan mengenai etika keilmuan.


PEMBAHASAN

ETIKA KEILMUAN

A. Ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian pelik dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang andal. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka ( Jujun, 1987 ). Hal ini merupakan suatu keharusan bagi ilmuwan yang melakukannya.
B. Sikap Ilmiah
Ilmu filsafat dibagi menjadi 2 cabang, yaitu :
Filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis adalah mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu. Misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, pengetahuan, apa yang kita ketahui yang transenden, dan sebagainya.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran – ajaran dan pandangan – pandangan moral, etika lebih banyak berkaitan dengan prinsip – prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku ( Kattsoff, 1986 ). Menurut Magnis Suseno ( 1987 ), etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika social. Etika individual membahas tentang kewajiban manusia terhadap diri sendiri. Etika social membicarakan tentang kewajiban manusia.
Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan sudah tentu mereka juga perlu memiliki visi moral atau sikap ilmiah. Moral ilmiah menurut Merton ( 1981 ) bahwa ilmu memiliki sifat universalisme, komunalisme, disintredenes dan skeptitisme yang terorganisasi.

Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan :
1. Tidak ada rasa pamrih ( dissentrerstedneis ) artinya sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak, baik terhadap kenyataan maupun terhadap pendapat serta budi.
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan ( belief ) dan dengan merasa pasti ( conution ) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seseorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis ( akhlak )

Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Di dalam perkembangan bangsa, etika Pancasila atau moral Pancasila seyogyanya dipertimbangkan sebagai landasan moral bagi para ilmuwan Indonesia. Hal ini disebabkan mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membangun bangsa dan negaranya sendiri.

ANALISIS
A. Objektif
Etika keilmuan adalah suatu yang harus ditaati oleh para ilmuwan ( isi etika : nilai, norma, aturan, moral ). Tapi untuk sekarang para ilmuwan sudah tidak taat pada etika keilmuwan, contohnya saja mereka membuat senjata pemusnah massal, entah dalam bidang kimia atau biologi.
Untuk bidang kimia, para ilmuwan membuat bom nuklir yang dapat memusnahkan manusia dalam sekejap, walaupun sebenarnya nuklir dapat digunakan untuk pembangkit listrik, tetapi para ilmuwan menyelewengkan untuk hal lain. Jika dala bidang biologi para ilmuwan menggunakan virus untuk senjata pemusnah massal, seperti virus anthraks.
Selain membuat senjata pemusnah massal, para ilmuwan juga sering mengunakan makhluk hidup sebagai bahan percobaan ataupun bahan penelitian.
Ada juga hasil penelitian yang melanggar salah satu aturan agama. Yaitu pembuatan bayi tabung dan kloning manusia ataupun hewan. Bayi tabung melanggar karena dalam pelaksanaannya menggunakan sperma bukan dari pasangannya, tetapi berasal dari orang lain yang bukan pasangan sahnya. Walaupun bayi tabung merupakan suatu cara untuk menghaasilkan keturunan bagi mereka atau pasangan yang belum mempunyai keturunan. Cara ini kebanyakan diterapkan dinegara – negara yang penduduknya mayoritas non – Islam, seperti di Eropa.
B. Subjektif
Etika keilmuan seharusnya harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, agar hasil dari penelitiannya tersebut tidak bertentangan dengan nilai, norma aturan, sera agama yang diyakininya.
Semoga dengan diterapkannya etika keilmuan ini, hasil dari penelitian para ilmuwan akan berguna kehidupan umat manusia, bukannya malah merugikan.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ilmu filsafat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Filsafat teoritis
b. Filsafat praktis. Dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Etika umum
2. Etika khusus
2. Sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh para ilmuwan :
a. Tidak ada rasa pamrih
b. Bersikap selektif
c. Adanya rasa percaya
d. Adanya sikap dasar dengan kepastian
e. Adanya rasa selalu tidak puas terhadap penelitian.
f. Memiliki sikap etis.
B. Penutup
Sekian resume dan analisis tentang etika keilmuan. Apabila banyak terdapat kesalahan, Kami mohon maaf yang sebesar – besarnya dan dapat Kami jadikan koreksi untuk perbaikan kedepan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas – Hanami M. 1980. Di sekitar Masalah Ilmu ; Suatu Problema Filsafat. Surabaya : Bina Ilmu.
- . 1983. Epistemologi. Yogyakarta : Yasbit Filsafat UGM
Bakker, A. H. 1987. Dikos dan Kosmos : Makalah seminar Lingkungan Hidup. Yogyakarta : Yasbit Filsafat UGM
Brown, H. L. 1979. Perception, Theory and Commitmen, The New Philosophy of Science. Chicago : The University of Chicago press.
Depdikbud. 1981. Filsafat Ilmu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Huibers, T. 1986. Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta : Kanisius.
Jacob T. 1987. Manusia, Ilmu dan Teknologi ; Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Suria – Sumantri, Jujun. Ed. 1978. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu. Jakarta : Gramedia.
Kattoff. L. Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Lachman, S. J. 1960. The Foundation of Knowledge. New York : Vantage Press.
Suseno, Magnis. 1988. Kuasa dan Moral. Jakarta : Gramedia.
Searles, H.Tanpa tahun. Logics and Scientific Methods. Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dan Sri Budiyah. Yogyakarta : Fakultas Filsafat UGM.

SEMUA TLAH BERAKHIR....MSIH SANGGUPKAN KEMBALI SEPERTI DULU ...???

Ketika semuanya telah berakhir, masa-masa indah dulu kini hanya tinggal kenangan. Akankah terulang kembali kisah itu....

Hanya ada 1 kesempatan....namun sulit untuk menjalaninya...
Semakin lama, semakin banyak cobaan yang menerpa....
Hingga kali ini, cobaan yang terberat ...
Hingga membuat kita harus terpisah...
Entah untuk berapa lama...
Kemungkinan terburuk adalah...
Kita akan terpisah untuk selamanya...
Jika hal ini terjadi...
Aku tidak akan pernah maafkan mereka....
Yang membuat semuanya menjadi seperti ini...
Sampai matipun tidak akan kumaafkan...
Aku bersumpah...
Mereka tidak akan temukan bahagia di dalam hidupnya....
SELAMANYA....
Anggap aku adalah mimpi buruk bagi kalian...
Yang akan terus menghantui kehidupan kalian...
Ingat ucapanku ini...

Dan....
Kebenaran akan terungkap...
Tak ada maaf untuk ini...

Percayalah...
Kita kan bersatu lagi...
Kita kan bersama lagi...
Dalam suka maupun duka...
SELAMANYA....

Selasa, 09 Februari 2010


JUDUL-JUDUL SKRIPSI TENTANG PENDIDIKAN
(Kuantitatif dan Kualitatif)
(Pesan : Silahkan lewat Blog ini.File lengkap,
Anda tinggal mengedit sesuka hati Anda)

1.      MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS … KABUPATEN … POKOK BAHASAN … MELALUI IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI BERBANTUAN LKS
2.      KENDALA-KENDALA DALAM PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SOSIOLOGI
3.      SURVEI MINAT SISWA TERHADAP PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI PADA …
4.      PENGARUH IBU RUMAH TANGGA YANG BEKERJA DI LUAR SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PENDAPATAN KELUARGA DI DESA …
5.      HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI ANAK, TINGKAT PENDIDIKAN TERAKHIR AYAH DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERAKHIR IBU DENGAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SDN ….
6.      TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI SARANA PENDIDIKAN MORAL DI …
7.      SURVEI MINAT TERHADAP PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI PADA SISWA …
8.      SELF-DISCLOSURE SISWI SEKOLAH UMUM DAN SANTRIWATI PONDOK PESANTREN MODERN (Studi Komparatif di … dan SMA Pondok Pesantren Modern … Tahun Ajaran … )
9.      PERSEPSI KLIEN TENTANG KEEFEKTIFAN KONSELOR DALAM MELAKSANAKAN KONSELING INDIVIDUAL DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA DAN GENDER KONSELOR DI SMA NEGERI …
10.  PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA HARIAN LEPAS DI UD … DESA … KECAMATAN … KABUPATEN …
11.  "KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PADA POKOK BAHASAN TRIGONOMETRI PADA SISWA KELAS …
12.  PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN PENDIDIKAN ORANGTUA TERHADAP MOTIVASI MELANJUTKAN PENDIDIKAN KE PERGURUAN TINGGI PADA SISWA ….
13.  "PENGARUH PELAKSANAAN SISTEM PEMBELAJARAN KURIKULUM 2004 TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS VII MATA PELAJARAN PENGETAHUAN SOSIAL DI …"
14.  SEKOLAH PENDIDIKAN DASAR TERPADU DI … (PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR ORGANIK)
15.  PENDIDIKAN ANAK DI LINGKUNGAN KELUARGA GELADANGAN
16.  PERSEPSI SISWA TERHADAP PENOKOHAN MOHAMMAD HATTA SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL (STUDI KASUS DI SMA …)
17.  FAKTO FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN MASKER PADA PEKERJA BAGIAN PENGAMPELASAN PERUSAHAAN MEUBEL CV …
18.  MANAJEMEN KOMITE OLAHRAGA NASIONAL INDONESIA
19.  MINAT MASUK PERGURUAN TINGGI BAGI SISWA KLAS III PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK INSTALASI LISTRIK PADA SMK DI …
20.  IMPLEMENTASI KURIKULUM SMK EDISI 2004 MELALUI PENDEKATAN KBK PADA MATA DIKLAT SIKLUS AKUNTANSI
21.  PERSEPSI SISWA … TERHADAP PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI
22.  PENGARUH KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI KELUARGATERHADAP KEGIATAN BELAJAR ANAK DI PERUMAHAN … INTI DESA …
23.  HUBUNGAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN PENGUSAHA TAILOR DENGAN MANAJEMEN USAHA BUSANA DI KECAMATAN …
24.  PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA MELALUI PENDEKATAN PENGALAMAN BERBAHASAPADA SISWA KELAS I SD …
25.  MODEL PELAKSANAAN PENDIDIKAN SISTEM GANDA PADA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK BANGUNAN SMK …
26.  PENGARUH KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI
27.  STUDI KOMPETENSI GURU DALAM MENGEMBANGKAN MATERI PEMBELAJARAN AKUNTANSI BERDASARKAN KURIKULUM 2004 SMA DI KABUPATEN …
28.  PENGARUH KOMUNIKASI INTERN TERHADAP SEMANGAT KERJA PEGAWAI PADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROPINSI JAWA TENGAH
29.  EFEKTIVITAS CD INTERAKTIF SEBAGAI
30.  PERANAN OEITIONG HAM CONCERN BAGI PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT TIONGHA DI KOTA SEMARANG 1900-1945
31.  PENANAMAN DISIPLIN DALAM MENTAATI PERATURAN DAN TATA TERTIB (Studi Kasus Sistem Analisis Pembelajaran …)
32.  KETIDAKPEDULIAN KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS TERHADAP PENDIDIKAN REMAJA AUTIS (Studi Kasus Pada Keluarga Dengan Ayah Yang Berprofesi Guru Di Desa ...)
33.  PENILAIAN HASIL BELAJAR SISWA BERDASARKAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI ( KBK ) PADA MATA PELAJARAN EKONOMI DI …
34.  PENGEMBANGAN SILABUS KURIKULUM 2006 MENGGUNAKAN MODEL KTSP OLEH GURU-GURU DI SEKOLAH DASAR NEGERI …
35.  PEMBELAJARAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) OLEH GURU-GURU SMA NEGERI SE-KABUPATEN … DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2006
36.  TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS PENEGAKAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Kasus Pada Guru …)
37.  PENGARUH KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR DIKLAT MOTOR BENSIN PADA SISWA KELAS …
38.  SURVEI MINAT SISWA TERHADAP PELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI PADA …
39.  SIKAP INSTITUSI PASANGAN ON THE JOB TRAINING (OJT) TERHADAP PELAKSANAAN PENDIDIKAN SISTEM GANDA SMK …
40.  FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MAHASISWA JURUSAN EKONOMI MEMILIH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI ADMINISTRASI PERKANTORAN DI …
41.  PENGARUH PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI KEUANGAN, MINAT, DAN LINGKUNGAN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANALISIS LAPORAN KEUANGAN MAHASISWA PENDIDIKAN AKUNTANSI FAKULTAS …
42.  POLA PEMBELAJARAN TAMAN PEITIPAN ANAK DI …
43.  TINGKAT KONSUMSI PAKAIAN JADI MAHASISWA ….
44.  KAUM PINGGIRAN DI KAMPUNG ...